Minggu, 23 Mei 2010

My Essay


Merpati Pengantar Surat Harapan
*Helen*

Pagi itu, aku berjalan kaki menyusuri jalan setapak mengikuti arah angin berhembus. Ku perhatikan sekeliling. Inikah kota tempat di mn aku tinggal? Dan jawabannya adalah ya. Di mana-mana terdengar isak tangis para makhluk lemah yang mengharapkan uluran tangan dan belas kasihan dari makhluk-makhluk lain yang memiliki keberuntungan lebih dari mereka. Kemudian aku tiba di sebuah taman kecil. Di sana ada segerombolan domba kecil bermain. Domba kecil yang aku maksud adalah anak-anak kecil tak bersalah namun tetap ambil peran dalam sandiwara hidup yang penuh penderitaan ini. Ku pandangi wajah dan pakaian mereka. Begitu kotor dan kusam. Pakaian mereka pun tak tentu lagi bentuknya. Aku pun bertanya dalam hati. "Masih layak kah pakaian itu? Apakah yang mereka kenakan masih bisa disebut pakaian?"
Aku mencoba untuk mendekati mereka. Ku pandangi kembali wajah mereka. Mungkinkah wajah mereka sudah diatur secara otomatis untuk menunjukkan kesedihan? Namun aku memperhatikan mereka kembali. Dari hasil analisisku, aku dapat berhipotesis bahwa mereka sedang menggoreskan tinta di atas secarik kertas kusam, dan bisa dipastikan bahwa kertas itu adalah bekas pembungkus nasi. Seorang dari antara mereka sedang memandangi foto para pemimpin bangsa kita, yaitu Indonesia. Aku kembali berhipotesis bahwa anak itu sedang berkhayal seolah foto tersebut mau memandang dan berbicara kepadanya. Layaknya seorang anak sedang curhat kepada sang Ayah.
Cukup lama aku memperhatikan mereka. Mungkin saja pohon-pohon di sekitar taman tempat mereka berkumpul itu adalah saksi bisu penderitaan yg mereka alami.. Di bawah terik matahari dan hanya berpayungkan awan, mereka mengulurkan tangan ke setiap orang-orang beruntung yang melewati jalanan itu, berharap ada orang beruntung yg tergugah hatinya memberikan sepeser uang untuk kehidupan mereka.
Aku kembali pada apa yg aku perhatikan daritadi. Aku lebih konsentrasi memperhatikan setiap gerak gerik mereka, ketimbang memperhatikan guru Fisika yg sedang menerangkan rumus2 sulit layaknya obat pahit yang dipaksa masuk melewati setiap centi dr organ tubuhku.
Setelah beberapa menit, mereka menggulung secarik kertas tersebut dan menguburnya di dalam tanah.. Ku dengar salah seorang dr mereka berkata,
“Aku pernah dengar sebuah dongeng yg indah, katanya kalau kita menulis harapan kita di selembar kertas lalu menguburnya dalam tanah, harapan kita itu akan menjadi kenyataan.”
Kemudian mereka berlari-lari kecil seiring dgn terdengarnya teriakan orang tua mereka yg menyuruh mereka kembali ke ladang penderitaan. Bagaikan dentuman petir yg memecah kesunyian malam. Aku menjadi sangat penasaran. Ku gali tanah tempat mereka mengubur kertas harapan tadi. Sebelumnya aku sempat berpikir, anak2 seperti mereka ternyata masih memiliki harapan. Aku mengira-ngira apa harapan mereka itu. Mungkinkah curhat mereka kepada sang Ayah pemimpin bangsa ini merupakan harapan mereka? Segera saja ku buka gulungan kertas tersebut.
“Untuk Pak Presiden..
Kami pengen hidup seperti anak2 lain.

Pengen ngerasain omelan guru di sekolah.

Pengen main, tertawa sama kawan2..

Main mobil2an yg canggih, main boneka yg lucu.

Pengen banget ngerasain gimana rasanya mayones di hamburger.
Minum susu yg katanya enak.
Makan es krim, makan coklat.

Makan ayam goreng, bukan tempe goreng.

Tidak usah kerja seperti ini.
Kami sangat berharap sang malaikat mengirimkn surat harapan ini
kepada sang pemimpin bangsa.
Inilah harapan kami, semoga jadi nyata.”

Hatiku tergerak membaca kata2 harapan mereka yang polos. Mereka berharap Pak Presiden mau mengambil peran montir yang mereparasi mesin kehidupan mereka yg sedang mengalami kerusakan berat.
Mereka bagai para org2 buta yg berharap agar dirinya mampu melihat cahaya, pelita sekali pun. Jadilah sumber cahaya yg memberi harapan kembali kepada anak2 Indonesia yg kurang beruntung. Anggaplah tulisan ku ini sebagai,
Burung merpati pengantar surat harapan mereka.


** Ini essay karya ku. Silakan dibaca ya, jgn lupa komen. :)