Jumat, 03 Desember 2010

BAD DAY EVER



Today, 3rd of December.

Hari ini, bangun pagi-pagi dengan harapan semua berjalan lancar. Tapi ternyata semua ga seindah harapan, pagi2 ditantang sama soal ulangan Agama, gila, dr 4 soal, cuma bs jwb 3 dan itu pun ga tw bner ap ga. Alhasil, nilai saya sangat mengecewakan. ==`
Masuk ke kelas dengan muka muram, langsung disambut dengan ulangan Matematika. Bisa tersenyum karena soalnya tidak serumit ulangan sebelumnya. Bel istirahat berbunyi, kemudian saya bersama teman saya Tia pergi ke ruang TU untuk mengurus pembayaran uang komite. Waktu mau pulang ke kelas, kami dipanggil guru PPL, ternyata tape ketan yang hari Rabu kemarin dibuat sudah jadi. ^^?
Jam pelajaran 4 dan 5 tidak belajar, tetapi hanya bersih-bersih kelas karena hari Senin akan ulangan semester. *Wish me luck* :D
Bel pulang sekolah berbunyi. Saya diajak ke kantin sama Nadia, di kantin ketemu sama Dwi, Bella, Candra, Vicky, dan Okta.. Yeah, dimulailah aktivitas rutin, ketawa ga jelas bareng. #sofarsogood
Awalnya saya diajak nonton Harpot di 21 bersama mereka, tetapi saya dan Nadia memiliki rencana lain. Setelah cukup lama ketawa-ketawa ga jelas, kami pun berangkat ke Mega Mall. Sesampainya di sana, saya dan Nadia berpisah dengan yang lain. Kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di Gramed. 1 jam berlalu, kami pun berangkat untuk ekskul Bridge. *everything's OK :)
Kami pun latihan dengan muka tidak bersemangat. Rasanya males nd ga mood banget. Pukul 15.45 saya dan Nadia pamit pulang.
Menunggu angkot. *so boring*
Akhirnya dapet angkot, Nadia udah bilang "prapto" dan diiyakan sama si supir. But in fact?? Kami nyasar ke
pasar Panorama. Tidak tahu harus nyari angkot kuning untuk pulang di mana.. Gara-gara seseorang kami badmood dan selamat bagi yang udah ngerusak hari saya dan Nadia.. -.-

Oh My God,

TODAY IS THE BAD DAY I EVER HAD. TT

Minggu, 23 Mei 2010

My Essay


Merpati Pengantar Surat Harapan
*Helen*

Pagi itu, aku berjalan kaki menyusuri jalan setapak mengikuti arah angin berhembus. Ku perhatikan sekeliling. Inikah kota tempat di mn aku tinggal? Dan jawabannya adalah ya. Di mana-mana terdengar isak tangis para makhluk lemah yang mengharapkan uluran tangan dan belas kasihan dari makhluk-makhluk lain yang memiliki keberuntungan lebih dari mereka. Kemudian aku tiba di sebuah taman kecil. Di sana ada segerombolan domba kecil bermain. Domba kecil yang aku maksud adalah anak-anak kecil tak bersalah namun tetap ambil peran dalam sandiwara hidup yang penuh penderitaan ini. Ku pandangi wajah dan pakaian mereka. Begitu kotor dan kusam. Pakaian mereka pun tak tentu lagi bentuknya. Aku pun bertanya dalam hati. "Masih layak kah pakaian itu? Apakah yang mereka kenakan masih bisa disebut pakaian?"
Aku mencoba untuk mendekati mereka. Ku pandangi kembali wajah mereka. Mungkinkah wajah mereka sudah diatur secara otomatis untuk menunjukkan kesedihan? Namun aku memperhatikan mereka kembali. Dari hasil analisisku, aku dapat berhipotesis bahwa mereka sedang menggoreskan tinta di atas secarik kertas kusam, dan bisa dipastikan bahwa kertas itu adalah bekas pembungkus nasi. Seorang dari antara mereka sedang memandangi foto para pemimpin bangsa kita, yaitu Indonesia. Aku kembali berhipotesis bahwa anak itu sedang berkhayal seolah foto tersebut mau memandang dan berbicara kepadanya. Layaknya seorang anak sedang curhat kepada sang Ayah.
Cukup lama aku memperhatikan mereka. Mungkin saja pohon-pohon di sekitar taman tempat mereka berkumpul itu adalah saksi bisu penderitaan yg mereka alami.. Di bawah terik matahari dan hanya berpayungkan awan, mereka mengulurkan tangan ke setiap orang-orang beruntung yang melewati jalanan itu, berharap ada orang beruntung yg tergugah hatinya memberikan sepeser uang untuk kehidupan mereka.
Aku kembali pada apa yg aku perhatikan daritadi. Aku lebih konsentrasi memperhatikan setiap gerak gerik mereka, ketimbang memperhatikan guru Fisika yg sedang menerangkan rumus2 sulit layaknya obat pahit yang dipaksa masuk melewati setiap centi dr organ tubuhku.
Setelah beberapa menit, mereka menggulung secarik kertas tersebut dan menguburnya di dalam tanah.. Ku dengar salah seorang dr mereka berkata,
“Aku pernah dengar sebuah dongeng yg indah, katanya kalau kita menulis harapan kita di selembar kertas lalu menguburnya dalam tanah, harapan kita itu akan menjadi kenyataan.”
Kemudian mereka berlari-lari kecil seiring dgn terdengarnya teriakan orang tua mereka yg menyuruh mereka kembali ke ladang penderitaan. Bagaikan dentuman petir yg memecah kesunyian malam. Aku menjadi sangat penasaran. Ku gali tanah tempat mereka mengubur kertas harapan tadi. Sebelumnya aku sempat berpikir, anak2 seperti mereka ternyata masih memiliki harapan. Aku mengira-ngira apa harapan mereka itu. Mungkinkah curhat mereka kepada sang Ayah pemimpin bangsa ini merupakan harapan mereka? Segera saja ku buka gulungan kertas tersebut.
“Untuk Pak Presiden..
Kami pengen hidup seperti anak2 lain.

Pengen ngerasain omelan guru di sekolah.

Pengen main, tertawa sama kawan2..

Main mobil2an yg canggih, main boneka yg lucu.

Pengen banget ngerasain gimana rasanya mayones di hamburger.
Minum susu yg katanya enak.
Makan es krim, makan coklat.

Makan ayam goreng, bukan tempe goreng.

Tidak usah kerja seperti ini.
Kami sangat berharap sang malaikat mengirimkn surat harapan ini
kepada sang pemimpin bangsa.
Inilah harapan kami, semoga jadi nyata.”

Hatiku tergerak membaca kata2 harapan mereka yang polos. Mereka berharap Pak Presiden mau mengambil peran montir yang mereparasi mesin kehidupan mereka yg sedang mengalami kerusakan berat.
Mereka bagai para org2 buta yg berharap agar dirinya mampu melihat cahaya, pelita sekali pun. Jadilah sumber cahaya yg memberi harapan kembali kepada anak2 Indonesia yg kurang beruntung. Anggaplah tulisan ku ini sebagai,
Burung merpati pengantar surat harapan mereka.


** Ini essay karya ku. Silakan dibaca ya, jgn lupa komen. :)

Minggu, 11 April 2010

Hidup seperti Gema


Pada suatu hari, seorang ibu menegur anak laki-lakinya yang masih kecil. Dalam kemarahan yg besar, anak itu meneriakinya, "Aku benci kamu!"
Anak itu kemudian lari keluar rumah dan masuk ke dalam hutan. Di sana ia berdiri di sebuah bukit dan berteriak, "Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku benci kamu!"
Kemudian ia mendengar suara (gema suaranya sendiri) yang sama, "Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku benci kamu!"
Anak itu kaget dan mulai takut. Maka ia berlari kembali ke rumah dan mencari ibunya, "Mami, ada seorang pria jahat di hutan yang berteriak: aku benci kamu."
Mendengar cerita sang anak, ibu itu tersenyum. "Mari kita ke sana dan melihatnya," kata sang ibu.
Mereka berdua kemudian masuk ke hutan dan berhenti di tempat di mana anak tadi berdiri dan berteriak. Kata ibunya, "Nak, sekarang berteriaklah, Aku cinta padamu. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu!"
Setelah anak itu berteriak, terdengarlah suara yang sama: "Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Aku cinta padamu!"
"Kok bisa begitu mami?" tanya anak itu.
"Itu namanya gema, nak. Dinding batu di depan itu yang telah memantulkan suaramu tadi," jawab sang ibu.
"Begitu juga hidup kita seperti gema. kita menerima kembali apa yang kita berikan. Kalau mencintai, kita akan dicintai. Kalau kita membenci, kita akan dibenci."

Senin, 01 Maret 2010

Titik Perjuangan Hidup


Inikah hidup ?
Begitu hampa terasa menyiksa

Bertubi-tubi batu sandungan

Telah membawaku ke dalam lorong kelam


Menyeretku hingga aku tenggelam
Tak adakah secercah harapan bagi ku?
Tak adakah setitik kesempatan tuk bangkit
berdiri?
Arus kehidupan begitu kejam dan menenggelamkan

Tuhan. .

Tolonglah Anak Mu ini
Yang tersesat dalam lingkaran membingungkan
Berikanlah harapan itu

Aku ingin bangkit berdiri

Tapi, apa dayaku ini
Tanpa kekuatanMu Tuhan?
Hanya harapan yang kumiliki
Berharap hari esok lebih baik

Quick link

google
facebook
twitter
tagged
aplikasi handphone
gj seluler blog
gj seluler group
gj seluler online shop



created by cybersinz